FanFiction ini diambil dari novel Refrain dan
Remember When karya Winna Efendi.
Kamu sempat buatku berpikir semua yang kita punya
nyata.
Kamu dan semua kata-katamu semua palsu.
Kau pernah bilang aku istimewa di hidupmu.
Takkan ada yang mampu gantikan cintaku padamu.
Kau tatap mataku kau bilang hatimu untukku.
Kau berjanji padaku takkan pernah pergi dariku.
Lagu rangkaian kata dari Gita Gutawa yang
baru-baru ini ngehits di beberapa radio sedang mengalun indah di telingaku.
Cuaca sore yang mendung hampir menyerupai suasana hatiku sepertinya. Aku
menunggu seseorang disini, tapi bukan Oliver. Ah! aku medengus setiap kali
harus mengucap nama lelaki itu. Oliver kemana dia, mengapa dia harus pergi?
kenapa dia harus menghilang dengan cara seperti ini dan membuatku kini harus
menunggu layaknya orang kehilangan arah. Aku yang sekarang seperti orang yang
kehilangan sebelah ginjalnya. Tak bisa bergerak, bernafas apalagi tersenyum.
Tidak ada lagi warna-warna pelangi di hidupku yang ada hanya
hitam-putih-abu-abu. Kemana dirimu Oliver? sedang apa dan dimana kamu. Untuk
kesekian kalinya aku melakukan hal yang sama selama beberapa bulan ini setelah
pengakuan Oliver yang tidak jelas alasannya menurut akal sehatku.
"Freyaaaaaaaa!"
Suara
cempreng Niki kini sungguh mengganggu
fokusku pada layar monitor. Niki sahabatku sejak duduk di bangku SMA
adalah
perempuan yang periang, penuh tawa, cantik, anggun tapi hanya terkadang
disaat
tertentu ketika dia harus terpaksa memakai heels. Kadang aku suka
berpikir mengapa dia sangat membenci heels padahal heels itu adalah hal
yang
wajib banget di pake kaum hawa di dunia, tapi dia sepertinya sudah
memasang tulisan
"I HATE HIGH HEELS" di dahinya. Niki menyukai dunia fotografi, dia
sudah mengeluti bidang fotografi dari kelas 1 SMA. Sekarang aku dan Niki
sah menjadi mahasiswa sastra di Universitas Gadjah Mada Jogjakarta.
Sudah 3 tahun
ini Niki dan kamera Canon DSLR yang menggantung di lehernya setia
menjadi teman
baikku disaaat hunting foto di kota gudeg ini. Aku dan Oliver biasanya
yang
menjadi model jepretan tangan gadis tomboy yang kemana-mana selalu pakai
sneakers biru dongker yang sudah lusuh itu. Tapi itu dulu, ya itu dulu
ah
lagi-lagi aku harus throwback. Aku mendengus kesal.
***
"Berisik banget sih lo ganggu konsentrasi
gue buat nulis tau nggak"
"Ya ampun hari gini masih ajah tuh olahraga
jari hahaha"
Weekend adalah hari ternyaman untuk menulis di
blog pribadiku, biasanya aku menulis cerpen atau kegiatan sehari-hariku dan
pastinya disertai foto-foto hasil jepretan Niki. Aku suka sekali menulis karena
dari kecil aku bercita-cita ingin menjadi penulis seperti Dewi Lestari dan setelah aku menemukan
passionku di bidang ini akhirnya aku memberanikan diri untuk muncul di dunia
pembloggeran.
HummingBird terlihat sepi minggu sore ini padahal
biasanya cafe ini sangat ramai di datangi para remaja jogja. Cafe ini adalah
tempat favoritku untuk menulis, di temani segelas caramel frappio dan red
velvet cake aku betah berlama-lama menulis disini. Biasanya aku di temani Oliver
ketika aku butuh moodbooster untuk merangkai kata-kata. Tapi sekarang
sepertinya dia hanya tinggal bayangan di mataku. Oliver entahlah bagaimana aku
harus mendeskripsikan sosok itu dia terlalu absurd buatku tapi dia nyata.
Laki-laki itu datang ke dalam hidupku seperti air hujan yang tiba-tiba turun di
saat matahari terik. Tak terduga, penuh dengan kejutan.
Oliver adalah sosok
yang pertama kali aku temui saat masuk universitas, aku ingat pertama kali dia
memanggilku
"Hey sorry nama lo siapa? anak sastra
juga?" terdengar suara dari belakang tubuhku.
Saat itu aku sedang mengantri untuk foto
pembuatan kartu mahasiswa terdengar suara orang menyapa sambil menepuk bahuku dari belakang.
"Hey namaku freya, iyah aku sastra jepang.
Kamu?" sambil berjabat tangan aku tersenyum melihat sosok laki-laki yang
begitu tampan rupanya.
"Gue Oliver, oh sastra jepang kalo gue
sastra indonesia nih. Lo asli jogja yah?"
"Iya aku asli jogja emangnya kamu asli
mana?"
"Oh gue dari jakarta nih."
Berawal
dari pertemuan itulah aku menjadi dekat
dengan Oliver, walaupun aku dan dia berbeda jurusan Oliver selalu
menyempatkan
waktu untuk mengobrol denganku di kampus. Kadang kalo aku sedang bosan
di kost
aku menghubungi dia untuk mengajaknya makan. Suatu ketika Oliver pernah
mengajakku ke bukit bintang, tempat yang paling romantis di jogja dan
biasanya banyak banget orang pacaran menjadikan tempat itu tempat
favorit mereka. Aku ingat itu malam minggu terakhir di bulan
desember.
"Kamu ngapain ajak aku kesini liv?"
"Gue cuma pengen kasih tau ke bintang yang
di atas sana kalo ada bintang yang jatuh dari langit ke hati gue" jawab
oliver sambil menunjukan ke atas langit.
Tiba-tiba
suasana
malam ini menghangat entah mengapa mukaku sepertinya memerah ketika
Oliver
mulai mendekat dan memandang wajahku begitu lekat. Belum pernah
sekalipun ada lelaki yang berani berbicara denganku sedekat ini. Begitu
hangat begitu dekat.
"Frey tau nggak perbedaan lo sama bintang yang ada di atas langit sana?"
Oliver
menunjukan jarinya ke atas langit sambil terus menatap wajahku lekat,
hampir saja bibirnya menyentuh bibirku sedikit lagi namun aku segera
memalingkan wajahku. Aku tahu pasti mukaku sudah merah seperti apel
karena aku belum pernah merasakan begitu dekat dengan seorang laki-laki
dan Oliver lah orang pertama yang memperlakukanku seperti ini.
"Bedanya? hmm aku nggak tau liv."
Begitu
polosnya aku menjawab membuat Oliver semakin gemas dan mencubit pipiku
diiringi tawanya yang khas membuat hatiku semakin berdebar tak karuan.
Oh Tuhan! Perasaan apa ini? batinku.
"Kalo bintang yang diatas sana kan menyinari langit malem ini kalo lo frey menyinari hati gue malem ini"
Oliver tersenyum menggodaku dan saat aku ingin mecubit pipinya karena kesal digoda olehnya
tiba-tiba dengan cepat Oliver menarik tanganku dan memegang erat tanganku. Disematkannya
cincin emas berbentuk bintang ke jemariku lalu dia tersenyum.
"Frey karena kita lagi di bukit bintang ini gue kasih buat lo, dijaga ya! kalo
lo lagi bosen atau takut pegang ajah cincin ini ntar gue pasti dateng"
Sambil menyeringai lebar Oliver menyematkan cincinnya padaku, aku tahu dia menahan tawa sungguh ini guyonan yang
sudah tak terhitung berapa kalinya Oliver lakukan padaku. Dia penuh kejutan
selalu ada hari-hari indah bersamanya. Namun dalam hati aku menginginkan
sesuatu yang lebih darinya.
"Oliver! guyonan apalagi sih ini hah? edisi
malem minggu yah huuuuuu"
Kami berdua tertawa dengan riang dan Oliver melingkarkan tangannya ke
tubuhku, mendekapku dengan hangat sambil melihat langit di atas bukit bintang.
Aku bahagia malam itu walaupun di dalam hatiku ada rasa mengganjal tentang
sikap Oliver yang begitu perhatian, hangat serta lembut padaku layaknya seorang kekasih.
***
Esok hari dikampus aku terburu-buru karena ada presentasi jam 08.00 dan aku baru
sampai kampus pukul 07.45. Aku sedang tidak fokus berjalan dan tiba-tiba saja
menabrak seseorang yang sedang berjalan berlawan arah denganku
“Woy ati-ati kalo jalan mba liat pake
mata jangan pake idung!"
Kertas-kertas makalahku terjatuh semua karena tertabrak gadis itu, aku
cepat-cepat membereskannya dan segera bangun untuk meminta maaf padanya.
“Sorry yah maaf banget tadi aku lagi
nggak fokus buru-buru mau presentasi” .
Gadis
itu hanya menyunggingkan senyum tipis yang rasanya seperti tidak ikhlas
menerima permintaan maafku. Lalu dia pergi begitu saja dan aku segera
berlari ke dalam
kelas. Kemarin malam saat aku sedang berjalan di sekitar Malioboro aku
melihat Oliver sedang berjalan dengan seorang gadis sambil merangkul
tubuhnya mesra sekali. Entah siapa gadis itu aku hanya melihat dari
kejauhan ketika Niki memanggilku untuk membeli wedang ronde, Oliver dan
gadis itu sudah menghilang dari pandanganku. Aku baru tersadar kalau
gadis yang aku tabrak tadi pagi adalah gadis yang bersama Oliver malam
itu. Hari ini aku dan Oliver ada janji dengan Niki untuk hunting foto di
Candi
Prambanan namun tiba-tiba Oliver mengirim pesan kalau hari ini dia tidak
bisa
datang karena ada kuliah tambahan. Aku hanya mendengus kesal melihat
layar
handphoneku saat membaca pesan itu.
“Kenapa si Oliver nggak dateng? padahal
viewnya udah oke banget nih buat foto prewedding selanjutnya”
“Apaan sih kamu Nik emang aku sama Oliver mau nikah apa pake bilang foto
prewed segala”
“Loh bukannya kalian pacaran? mesra gitu juga makanya gue seneng jadiin lo
sama dia model jepretan gue”
Selama ini Niki hanya tahu kalau aku dan Oliver adalah sepasang kekasih karena pada
awal aku mengenalkan Oliver padanya dia mengaku pacarku. Itu bukanlah pengakuan
sebenarnya namun itu hanya bercandaan Oliver dan aku sudah terbiasa dengan itu
walaupun kadang-kadang aku masih tak mengerti mengapa dia selalu memberi kode
tanpa mau mengatakan sesungguhnya tentang perasaannya. Niki percaya saja dengan
perkataan Oliver karena menurut dia aku dan Oliver pasangan yang cocok.
“Selama ini aku nggak pernah pacaran sama dia Nik"
“Maksud lo frey?”
“Waktu awal aku kenalin Oliver ke kamu itu dia cuma bercanda kalo dia itu
pacar aku, kami cuma temenan ajah Nik”.
Aku mengatakan itu pada Niki dengan nada suara yang begitu melemah tanpa aku
sadari ada bulir-bulir air mata yang menetes dan aku mulai merasa hatiku sakit.
“Frey loh kenapa lo jadi nangis gini? yah beneran batal dong photoshoot hari
ini"
Niki segera mengusap air mata yang ada di pipiku, mengajakku untuk duduk dan
bercerita apa yang sesungguhnya terjadi.
“Jadi semua itu cuma bercandaan dan kalian nggak pacaran? tapi lo suka frey
sama dia gitu? Oliver jahat banget sih frey sama lo dia tuh jadi cowok nggak
peka apa gimana sih!”
“Aku cuma bisa diam Nik dan menyimpan perasaan yang nggak terbalaskan ini
aku tahu ada orang yang disukai Oliver dan itu bukan aku”
“Maksud lo dia udah punya pacar gitu? Saran gue nih yah mending lo tanya kepastian Oliver tanyain ke dia kenapa
bersikap seperti lo itu pacarnya. Jangan mau di PHPin ama cowok freyaaaaaaaa!”
Ucapan Niki yang kemarin di Prambanan itu seperti tamparan bagiku. Benar
kata dia mengapa sampai sekarang aku masih terdiam dan tidak kunjung berani
menanyakan apa yang sesungguhnya Oliver rasakan padaku. Apa dia menyukaiku
sebagai teman atau lebih dari teman. Aku memutuskan untuk bertemu dengan Oliver
di bukit bintang pukul 7 malam. Dengan sweater flowers pink pemberian Oliver
saat aku ulang tahun bulan lalu aku menunggunya disana bersama
bintang-bintang yang berkelap-kelip.
Tiba-tiba saja ada yang memelukku dari belakang. Oliver.
“Udah lama nunggu gue disini ya frey?”
Oliver datang dengan suara yang begitu menggoda, aku membalikkan tubuhku ke hadapannya. Aku memberanikan diri untuk memandang
wajahnya dan menatap matanya lalu tanpa aku sadari aku mengeluarkan kata-kata
yang tidak sejalan dengan otakku.
“Selama ini kita udah habisin waktu
bareng-bareng dan kamu selalu bersikap menganggapku lebih dari teman,
sebenarnya perasaan kamu ke aku seperti apa sih liv?”.
Oliver hanya tertawa saat aku berbicara begitu seriusnya.
“Frey lo tumben banget tau nggak ngomong serius ke gue biasanya juga kan
kita bercandaan frey nggak pernah beneran serius kaya gini”
Jadi kamu juga tidak benar-benar serius dengan perasaanmu, tidak serius
dengan sikapmu lalu aku ini kamu anggap apa? batinku rasanya ingin menjerit
seperti itu namun aku urungkan karena aku begitu malu dan takut kalau benar-benar
salah paham atas semua sikap Oliver selama ini.
“Kita ini temenan Frey udah hampir satu tahun di kampus ya selamanya lo jadi
temen gue malah sahabat gue. Soal sikap gue ke lo menurut gue wajar Frey toh
semua cewek yang deket sama gue juga gue perlakuin kaya gitu”
Kata-kata
Oliver begitu menusuk hatiku, aku seperti kehilangan keseimbanganku
setelah mendengar pengakuannya. Aku kecewa. Jadi memang benar selama ini
Oliver hanya
menyebar seluruh kata-kata manis di hadapan seluruh wanita termasuk aku
dan aku
begitu bodohnya percaya bahwa Oliver menyukaiku lebih dari sekedar teman
dekat.
Aku salah telah menyukaimu Oliver. Semua itu hanya rangkaian kata dan
itu seperti
sebuah alarm untuk membuatku wake up to reality.
Aku pergi ke bukit bintang sendirian tanpa Oliver, kini aku menjauh dari
Oliver setiap kali Oliver mencoba menghubungiku aku menghiraukannya dan saat
berada di kampus pun aku mencoba menghindar darinya. Aku membuang cincin bintang
pemberian Oliver dan aku menyadari bahwa perasaan suka bisa kapan saja datang
dan bisa kapan saja pergi. Oliver datang dengan penuh kejutan dan
sekarang aku tahu apa sebenarnya kejutan itu. Itu adalah
rangkaian kata.
***